Jumat, 07 Maret 2014

Malioboro


           Malioboro membentang di atas sumbu imajiner yang menghubungkan Kraton Yogyakarta, Tugu dan puncak Gunung Merapi, jalan ini terbentuk menjadi suatu lokalitas perdagangan setelah Sri Sultan Hamengku Buwono I mengembangkan sarana perdagangan melalui sebuah pasar tradisional semenjak tahun 1758. Setelah berlalu 248 tahun, tempat itu masih bertahan sebagai suatu kawasan perdagangan bahkan menjadi salah satu ikon Yogyakarta yang dikenal dengan Malioboro.
Terletak sekitar 800 meter dari Kraton Yogyakarta, tempat ini dulunya dipenuhi dengan karangan bunga setiap kali Kraton melaksanakan perayaan. Malioboro yang dalam bahasa sansekerta berarti "karangan bunga" menjadi dasar penamaan jalan tersebut.Diapit pertokoan, perkantoran, rumah makan, hotel berbintang dan bangunan bersejarah, jalan yang dulunya sempat menjadi basis perjuangan saat agresi militer Belanda ke-2 pada tahun 1948 juga pernah menjadi lahan pengembaraan para seniman yang tergabung dalam komunitas Persada Studi Klub ( PSK ) pimpinan seniman Umbul Landu Paranggi semenjak tahun 1970-an hingga sekitar tahun 1990.
          Menikmati pengalaman berbelanja, berburu cinderamata khas Jogja, wisatawan bisa berjalan kaki sepanjang bahu jalan yang berkoridor ( arcade ). Di sini akan ditemui banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya. Mulai dari produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu ( gantungan kunci, lampu hias dan lain sebagainya ) juga blangkon ( topi khas Jawa / Jogja ) serta barang-barang perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum yang banyak ditemui di tempat perdagangan lain. Sepanjang arcade, wisatawan selain bisa berbelanja dengan tenang dalam kondisi cerah maupun hujan, juga bisa menikmati pengalaman belanja yang menyenangkan saat menawar harga. Jika beruntung, bisa berkurang sepertiga atau bahkan separuhnya.Jangan lupa untuk menyisakan sedikit tenaga. Masih ada pasar tradisional yang harus dikunjungi. Di tempat yang dikenal dengan Pasar Beringharjo, selain wisatawan bisa menjumpai barang - barang sejenis yang dijual di sepanjang arcade, pasar ini menyediakan beraneka produk tradisional yang lebih lengkap. Selain produk lokal Jogja, juga tersedia produk daerah tetangga seperti batik Pekalongan atau batik Solo.
           Mencari batik tulis atau batik print, atau sekedar mencari tirai penghias jendela dengan motif unik serta sprei indah bermotif batik. Tempat ini akan memuaskan hasrat berbelanja barang - barang unik dengan harga yang lebih murah.Berbelanja di kawasan Malioboro serta Beringharjo, pastikan tidak tertipu dengan harga yang ditawarkan. Biasanya para penjual menaikkan harga dari biasanya bagi para wisatawan.Di penghujung jalan "karangan bunga" ini, wisatawan dapat mampir sebentar di Benteng Vredeburg yang berhadapan dengan Gedung Agung. Benteng ini dulunya merupakan basis perlindungan Belanda dari kemungkinan serangan pasukan Kraton. Seperti lazimnya setiap benteng, tempat yang dibangun tahun 1765 ini berbentuk tembok tinggi persegi melingkari areal di dalamnya dengan menara pemantau di empat penjurunya yang digunakan sebagai tempat patroli.
Sedangkan Gedung Agung yang terletak di depannya pernah menjadi tempat kediaman Kepala Administrasi Kolonial Belanda sejak tahun 1946 hingga 1949. Selain itu sempat menjadi Istana Negara pada masa kepresidenan Soekarno ketika Ibukota Negara dipindahkan ke Yogyakarta.
      Saat matahari mulai terbenam, ketika lampu - lampu jalan dan pertokoan mulai dinyalakan yang menambah indahnya suasana Malioboro, satu persatu lapak lesehan mulai digelar. Makanan khas Jogja seperti gudeg atau pecel lele bisa dinikmati disini selain masakan oriental ataupun sea food serta masakan Padang. Serta hiburan lagu-lagu hits atau tembang kenangan oleh para pengamen jalanan ketika bersantap.Bagi para wisatawan yang ingin mencicipi masakan di sepanjang jalan Malioboro, mintalah daftar harga dan pastikan pada penjual, untuk menghindari naiknya harga secara tidak wajar. Mengunjungi Yogyakarta yang dikenal dengan "Museum Hidup Kebudayaan Jawa", terasa kurang lengkap tanpa mampir ke jalan yang telah banyak menyimpan berbagai cerita sejarah perjuangan Bangsa Indonesia serta dipenuhi dengan beraneka cinderamata. Surga bagi penikmat sejarah dan pemburu cinderamata.

Karya : DEDY ABRI YANTO

Candi Borobudur

                 Siapa yang belum pernah mendengar tentang Candi Borobudur? Kemegahan, keindahan, serta keunikannya telah membuat Candi yang dibangun oleh Dinasti Sailendra antara tahun 750 – 842 M ini dikukuhkan menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia dan pada tahun 1991 ditetapkan oleh UNESCO di dalam Daftar Peninggalan Sejarah Dunia.Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, sekitar 40 km sebelah barat laut Jogjakarta, 7 km arah selatan Kota Magelang, dan 100 km sebelah barat daya Semarang.Candi Borobudur pernah terkubur oleh lahar dingin letusan dahsyat Gunung Merapi pada sekitar tahun 950 M dan baru ditemukan pada tahun 1814 saat Inggris menduduki Indonesia. Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles mendengar adanya penemuan benda purbakala berukuran raksasa di desa Bumisegoro, Magelang. Karena minatnya yang besar terhadap sejarah Jawa (Raffles juga menulis buku History of Java, 1817), maka Raffles segera memerintahkan H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki lokasi penemuan yang saat itu berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.
                     Pemugaran pertama langsung dilakukan oleh Raffles, yaitu mulai menebangi pepohonan dan menyingkirkan semak belukar yang menutupi bangunan raksasa tersebut. Karena penemuan itu, Raffles mendapat penghargaan sebagai orang yang memulai pemugaran Candi Borobudur dan mendapat perhatian dunia. Pada tahun 1835, seluruh area candi sudah berhasil digali. Candi ini terus dipugar pada masa penjajahan Belanda dan terus dilanjutkan setelah Indonesia merdeka oleh pemerintah Republik Indonesia dengan bantuan dari UNESCO. Seluruh proses pemugaran selesai pada tahun 1984. Banyak orang di seluruh dunia menjadikan Candi Borobudur sebagai tempat yang wajib dikunjungi dalam hidupnya. Banyak teori yang berusaha menjelaskan asal kata Borobudur. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa kata Borobudur berasal dari kata bara dan budur. Bara/vihara artinya kompleks candi dan budur atau beduhur artinya di atas atau bukit. Jadi, borobudur bisa diartikan sebagai kompleks candi yang berada di atas bukit.
                      Luas bangunan Candi Borobudur adalah 123 x 123 m dengan tinggi bangunan 34,5 m dan memiliki 1460 relief, 504 Arca Buddha, serta 72 stupa. Candi Borobudur memiliki 10 tingkat (melambangkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha). 10 tingkat tersebut terdiri dari 6 tingkat berbentuk bujur sangkar, 3 tingkat berbentuk bundar melingkar, dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya.Candi Borobudur dibangun sebagai perlambang dari banyak tahapan di dalam teori Budha. Jika dilihat dari atas, Candi Borobudur berbentuk mandala (bentuk tradisional Budha). Mandala adalah pusat dari gabungan antara seni Budha dan Hindu. Bentuk dasar dari banyak mandala Hindu dan Budha adalah persegi dengan empat titik masuk dan titik pusat yang melingkar. Baik dari segi eksterior maupun interior, Candi Borobudur melambangkan tiga zona tingkat kesadaran ditambah satu bidang utama yang menggambarkan kesempurnaan atau nirvana.Zona pertama adalah Kamadhatu atau dunia fenomena, dunia yang dihuni oleh kebanyakan orang, yang bisa juga diartikan dengan dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah".
        Tingkat paling bawah Candi Borobudur ini tertutup oleh pondasi penyokong bangunan, sehingga tidak terlihat. Zona Kamadhatu yang tersembunyi ini terdiri dari 160 relief yang menggambarkan kisah Karmawibhangga Sutra, yaitu hukum sebab akibat. Relief-relief di sini menggambarkan hawa nafsu manusia, seperti perampokan, pembunuhan, penyiksaan, dan penistaan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa tingkat dasar ini ditambahkan pada bangunan asli candi ini. Alasan penambahan bagian ini tidak 100 % pasti, namun sepertinya untuk stabilitas struktur bangunan dan memperkuat pondasi bangunan atau bisa juga karena alasan religius, yaitu untuk lebih banyak menutupi konten-konten cabul. Bagian tambahan ini tingginya 3.6 m dan lebarnya 6.5 m. Sudut bagian bawah yang tertutup ini telah dibuka secara permanen sehingga pengunjung dapat melihat pondasi yang tersembunyi termasuk beberapa reliefnya.
Zona 2 Rupadhatu atau dunia transisi, di mana manusia telah terbebas dari hal-hal duniawi, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Teras persegi Rupadhatu berisi galeri relief batu pahat, juga rangkaian ceruk yang berisi patung Budha.


Karya : DEDY ABRI YANTO