Pegunungan
Arfak yang berada di ‘kepala-otak burung Papua’ adalah sebuah kawasan
cagar alam dengan luas mencapai 68.325 hektar dengan ketinggian
mencapai 2940 meter di atas permukaan laut. Cagar alam pegunungan Arfak
berada di Kabupaten Manokwari, Propinsi Papua Barat. Membentang di
antara Distrik Menyambouw Warmare, Ransiki, Anggi dan Oransbari.
Wilayah ini hanya berjarak kira-kira 35 km dari kota Manokwari.
Diperlukan 2 hari berjalan kaki untuk sampai di tempat itu. Saat ini,
sudah bisa dicapai menggunakan kendaraan roda empat jenis off-road 4X4
atau ‘ranger’ (sebutan masyarakat setempat untuk jenis mobil ini)
dengan tarif Rp. 80 ribu – Rp. 300 ribu per orang. Bisa juga dengan
menggunakan pesawat terbang jenis twin otter dan cesna dengan waktu
tempuh sekitar 25 menit dengan tariff Rp. 300 ribu per orang.
Cagar alam pegunungan Arfak masih
menyimpan banyak misteri yang sampai kini belum terungkap, mulai dari
kehidupan flora-fauna, termasuk ribuan jenis tumbuhan anggrek, legenda
ikan Houn (sejenis belut) di dua danau yang diapit oleh sebuah
“perbukitan firdaus” bernama bukit Kobrey. Dua danau itu adalah Danau
Anggi Giji dan Danau Anggi Gita yang berada di ketinggian 2000 meter di
atas permukaan laut. Kehidupan seputar goa-goa, termasuk goa yang
kedalamannya mencapai 2000 meter juga masih menyimpan selaksa misteri.
Menurut informasi Yoris Wanggai, salah seorang tourist guide di
Manokwari, sudah sekian banyak peneliti mancanegara mendatangi
tempat-tempat ini namun tidak membawa hasil penelitian yang maksimal
oleh karena keterbatasan waktu berkunjung. Umumnya, para para peneliti
hanya memiliki waktu 1-2 minggu saja di pegunungan Arfak, dan itu jauh
dari cukup untuk mengetahui misteri-misteri yang tersimpan rapi di
Pegunungan Arfak itu. “Rasanya tidak cukup waktu. Jika kami di sini,
terasa hanya sebentar. Kami tidak puas,” demikian salah satu kutipan
pernyataan para wisatawan yang sampaikan Yoris saat berbincang dengan
E-I ketika mengunjungi obyek wisata alam dua danau di bukit Kobrey,
Agustus lalu.
Pegunungan Arfak ini adalah ekosistem yang mewakili tanah Papua oleh
karena dihuni beberapa habitat yang dilindungi, seperti kehidupan
berbagai jenis satwa seperti kupu-kupu sayap-burung (ornithoptera-sp)
yang menjadi buruan kolektor kupu-kupu internasional. Kupu-kupu jenis
ini oleh masyarakat suku Arfak sudah ditangkarkan. Salah satunya di
kampung Iray, di dekat danau Anggi Giji. Kawasan ini dihuni pula oleh
Cendrawasih Arfak (Astrapia-nigra). Berbagai jenis tumbuhan antara lain
pohon Arwob atau dodonia fiscosa, tumbuhan khas pegunungan Arfak. Juga
terdapat kayu Masohi yang rasanya pedas seperti permen menthol,
berguna untuk penambah selera makan. Dan masih banyak kekayaan
flora-fauna lagi yang menghuni wilayah ini.
Menurut data pemerintah kabupaten Manokwari, pegunungan Arfak ini
memiliki tidak kurang 110 jenis mamalia, 333 jenis burung, yang
beberapa jenis merupakan endemik, pegunungan Arfak. Salah satunya
adalah burung Namdur Polos (Bowerd Bird). Burung ini, oleh suku Arfak
Moley dinamai burung Mbrecew, yang berarti pintar atau pandai berkicau,
oleh karena bisa menirukan suara-suara lain dan bunyi apa saja. Burung
ini juga mampu membuat sarang (bower) dari dedaunan, rumput kering,
dan tangkai anggrek hutan, yang dibuat menyerupai rumah dan
meletakkannya di atas pohon maupun di tanah.
Tidaklah heran jika sejumlah ahli yang pernah datang meneliti di
kawasan ini menyatakan bahwa sejarah telah mencatat pegunungan Arfak
punya arti penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan di
masa mendatang dan sangat layak dijadikan perpustakan data genetik
yang bisa diolah untuk aneka jenis obat dan ramuan tradisional. Data
etno-botani menyebutkan cagar alam pegunungan Arfak juga kaya akan
aneka jenis tumbuhan yang bisa diolah menjadi obat bius dan obat
perangsang, namun sejauh ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Salah seorang mahasiswa peneliti S2 Botani IPB Bogor, Hengky
Wambraw, ketika sempat bertemu dengan Penulis di hutan lindung Gunung
Meja Manokwari, mengatakan kehidupan keanekragaman hayati di kawasan
pegunungan Arfak menjadi incaran para peneliti biologi, botani,
geologi, ekologi, tidak terkecuai peneliti serangga dan burung baik
dari luar negeri maupun local. Mereka ingin sekali berkunjung ke sana.
Hengky juga sempat menginformasikan kepada E-I untuk berhati-hati
menyentuh tumbuhan liar saat berkunjung ke wilayah pegunungan
“misterius” itu karena beberapa di antaranya ada yang mengandung racun,
ada pula yang bisa dijadikan obat.
Suhu sekitar danau sangat dingin. Apalagi di bukit Kobrey yang bisa
mencapai 6 derajat celsius. Oleh masyarakat suku Sough di kampung Iray,
bercocok tanam hortikultura seperti kentang, wortel, daun bawang,
seledri, berbagai jenis bunga antara lain Gladiol Anggi, Rhododenrum,
merupakan pilihan tepat. Mereka belum mengenal pestisida. Tanaman tumbuh
subur terhindar dari zat-zat kimia dan toxic yang berbahaya. Sayang
sekali, hasil panen mereka masih sulit untuk dipasarkan keluar areal
perkampungan mereka karena biaya pengangkutan yang tinggi, tidak
menutupi ongkos pergi-pulang seperti ke Ransiki atau kota Manokwari.
Mereka masih sangat berharap jika pedagang dari luar datang membeli
hasil panen mereka.
Keunikan lain yang dapat dijumpai di pegunungan Arfak adalah
kehidupan sosial masyarakat asli Mandacan yang terdiri dari beberapa
suku seperti suku Meyakh, suku Sough, suku Hatam dengan beragam bahasa
serta tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini. Di antaranya,
seorang lelaki wajib berjalan di belakang perempuan baik anaknya maupun
istrinya. Kita juga dapat menjumpai budaya Arfak yang berkenaan dengan
prosesi ritual pengucapan syukur yang disimbolkan dengan tarian
Magasa, sejenis tari ular. Biasanya, hampir setiap musim panen,
perkawinan atau menyambut tamu, tarian ini dipertunjukkan.
Rumah tradisional Arfak disebut Igkojei, yang oleh suku Sough
disebut Tumisen, terkenal dengan tahan lama dan kokoh, karena tiang yang
banyak terbuat dari jenis kayu bua yang tidak mudah patah meskipun
hanya berdiameter 5-10 cm. Rumah Tumisen ini juga sering disebut rumah
kaki seribu karena tiangnya yang banyak. Saat ini keaslian rumah Igkojei
atau Tumisen sudah mulai langkah apalagi atap yang asli dari rumput
ilalang rat-rata sudah diganti menggunakan seng.
Masih tersimpan banyak keunikan dan keindahan lainnya lagi yang bisa
kita dapatkan di kawasan pegunungan Arfak. Sungguh, waktu 2-3 hari di
sana adalah waktu yang begitu singkat.
Jika Anda peneliti atau mahasiswa, petualang, professional ataupun
hobbies fotografi flora-fauna, ataupun Anda tergolong “wisatawan
modern/minat khusus”, segera datang di Papua Barat. Jelajahi pegunungan
Arfak, telusuri goa terdalam di dunia, berkeliling di dua danau Anggi
dan buktikan kepada dunia bahwa Anda-pun turut serta berperan
“menyelamatkan” hutan Papua. (Fredy Tewu)
oleh bheellaa pada Oktober 11, 2010