Rabu, 26 Februari 2014

Ekowisata di kepala burung pulau papua

Pegunungan Arfak yang berada di ‘kepala-otak burung Papua’ adalah sebuah kawasan cagar alam dengan luas mencapai 68.325 hektar dengan ketinggian mencapai 2940 meter di atas permukaan laut. Cagar alam pegunungan Arfak berada di Kabupaten Manokwari, Propinsi Papua Barat. Membentang di antara Distrik Menyambouw Warmare, Ransiki, Anggi dan Oransbari. Wilayah ini hanya berjarak kira-kira 35 km dari kota Manokwari. Diperlukan 2 hari berjalan kaki untuk sampai di tempat itu. Saat ini, sudah bisa dicapai menggunakan kendaraan roda empat jenis off-road 4X4 atau ‘ranger’ (sebutan masyarakat setempat untuk jenis mobil ini) dengan tarif Rp. 80 ribu – Rp. 300 ribu per orang. Bisa juga dengan menggunakan pesawat terbang jenis twin otter dan cesna dengan waktu tempuh sekitar 25 menit dengan tariff Rp. 300 ribu per orang.
Cagar alam pegunungan Arfak masih menyimpan banyak misteri yang sampai kini belum terungkap, mulai dari kehidupan flora-fauna, termasuk ribuan jenis tumbuhan anggrek, legenda ikan Houn (sejenis belut) di dua danau yang diapit oleh sebuah “perbukitan firdaus” bernama bukit Kobrey. Dua danau itu adalah Danau Anggi Giji dan Danau Anggi Gita yang berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Kehidupan seputar goa-goa, termasuk goa yang kedalamannya mencapai 2000 meter juga masih menyimpan selaksa misteri.
Menurut informasi Yoris Wanggai, salah seorang tourist guide di Manokwari, sudah sekian banyak peneliti mancanegara mendatangi tempat-tempat ini namun tidak membawa hasil penelitian yang maksimal oleh karena keterbatasan waktu berkunjung. Umumnya, para para peneliti hanya memiliki waktu 1-2 minggu saja di pegunungan Arfak, dan itu jauh dari cukup untuk mengetahui misteri-misteri yang tersimpan rapi di Pegunungan Arfak itu. “Rasanya tidak cukup waktu. Jika kami di sini, terasa hanya sebentar. Kami tidak puas,” demikian salah satu kutipan pernyataan para wisatawan yang sampaikan Yoris saat berbincang dengan E-I ketika mengunjungi obyek wisata alam dua danau di bukit Kobrey, Agustus lalu.
Pegunungan Arfak ini adalah ekosistem yang mewakili tanah Papua oleh karena dihuni beberapa habitat yang dilindungi, seperti kehidupan berbagai jenis satwa seperti kupu-kupu sayap-burung (ornithoptera-sp) yang menjadi buruan kolektor kupu-kupu internasional. Kupu-kupu jenis ini oleh masyarakat suku Arfak sudah ditangkarkan. Salah satunya di kampung Iray, di dekat danau Anggi Giji. Kawasan ini dihuni pula oleh Cendrawasih Arfak (Astrapia-nigra). Berbagai jenis tumbuhan antara lain pohon Arwob atau dodonia fiscosa, tumbuhan khas pegunungan Arfak. Juga terdapat kayu Masohi yang rasanya pedas seperti permen menthol, berguna untuk penambah selera makan. Dan masih banyak kekayaan flora-fauna lagi yang menghuni wilayah ini.
Menurut data pemerintah kabupaten Manokwari, pegunungan Arfak ini memiliki tidak kurang 110 jenis mamalia, 333 jenis burung, yang beberapa jenis merupakan endemik, pegunungan Arfak. Salah satunya adalah burung Namdur Polos (Bowerd Bird). Burung ini, oleh suku Arfak Moley dinamai burung Mbrecew, yang berarti pintar atau pandai berkicau, oleh karena bisa menirukan suara-suara lain dan bunyi apa saja. Burung ini juga mampu membuat sarang (bower) dari dedaunan, rumput kering, dan tangkai anggrek hutan, yang dibuat menyerupai rumah dan meletakkannya di atas pohon maupun di tanah.
Tidaklah heran jika sejumlah ahli yang pernah datang meneliti di kawasan ini menyatakan bahwa sejarah telah mencatat pegunungan Arfak punya arti penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan di masa mendatang dan sangat layak dijadikan perpustakan data genetik yang bisa diolah untuk aneka jenis obat dan ramuan tradisional. Data etno-botani menyebutkan cagar alam pegunungan Arfak juga kaya akan aneka jenis tumbuhan yang bisa diolah menjadi obat bius dan obat perangsang, namun sejauh ini belum dimanfaatkan secara optimal.
Salah seorang mahasiswa peneliti S2 Botani IPB Bogor, Hengky Wambraw, ketika sempat bertemu dengan Penulis  di hutan lindung Gunung Meja Manokwari, mengatakan kehidupan keanekragaman hayati di kawasan pegunungan Arfak menjadi incaran para peneliti biologi, botani, geologi, ekologi, tidak terkecuai peneliti serangga dan burung baik dari luar negeri maupun local. Mereka ingin sekali berkunjung ke sana. Hengky juga sempat menginformasikan kepada E-I untuk berhati-hati menyentuh tumbuhan liar saat berkunjung ke wilayah pegunungan “misterius” itu karena beberapa di antaranya ada yang mengandung racun, ada pula yang bisa dijadikan obat.
Suhu sekitar danau sangat dingin. Apalagi di bukit Kobrey yang bisa mencapai 6 derajat celsius. Oleh masyarakat suku Sough di kampung Iray, bercocok tanam hortikultura seperti kentang, wortel, daun bawang, seledri, berbagai jenis bunga antara lain Gladiol Anggi, Rhododenrum, merupakan pilihan tepat. Mereka belum mengenal pestisida. Tanaman tumbuh subur terhindar dari zat-zat kimia dan toxic yang berbahaya. Sayang sekali, hasil panen mereka masih sulit untuk dipasarkan keluar areal perkampungan mereka karena biaya pengangkutan yang tinggi, tidak menutupi ongkos pergi-pulang seperti ke Ransiki atau kota Manokwari. Mereka masih sangat berharap jika pedagang dari luar datang membeli hasil panen mereka.
Keunikan lain yang dapat dijumpai di pegunungan Arfak adalah kehidupan sosial masyarakat asli Mandacan yang terdiri dari beberapa suku seperti suku Meyakh, suku Sough, suku Hatam dengan beragam bahasa serta tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini. Di antaranya, seorang lelaki wajib berjalan di belakang perempuan baik anaknya maupun istrinya. Kita juga dapat menjumpai budaya Arfak yang berkenaan dengan prosesi ritual pengucapan syukur yang disimbolkan dengan tarian Magasa, sejenis tari ular. Biasanya, hampir setiap musim panen, perkawinan atau menyambut tamu, tarian ini dipertunjukkan.
Rumah tradisional Arfak disebut Igkojei, yang oleh suku Sough disebut Tumisen, terkenal dengan tahan lama dan kokoh, karena tiang yang banyak terbuat dari jenis kayu bua yang tidak mudah patah meskipun hanya berdiameter 5-10 cm. Rumah Tumisen ini juga sering disebut rumah kaki seribu karena tiangnya yang banyak. Saat ini keaslian rumah Igkojei atau Tumisen sudah mulai langkah apalagi atap yang asli dari rumput ilalang rat-rata sudah diganti menggunakan seng.
Masih tersimpan banyak keunikan dan keindahan lainnya lagi yang bisa kita dapatkan di kawasan pegunungan Arfak. Sungguh, waktu 2-3 hari di sana adalah waktu yang begitu singkat.
Jika Anda peneliti atau mahasiswa, petualang, professional ataupun hobbies fotografi flora-fauna, ataupun Anda tergolong “wisatawan modern/minat khusus”, segera datang di Papua Barat. Jelajahi pegunungan Arfak, telusuri goa terdalam di dunia, berkeliling di dua danau Anggi dan buktikan kepada dunia bahwa Anda-pun turut serta berperan “menyelamatkan” hutan Papua. (Fredy Tewu)

pada Oktober 11, 2010 

Ditulis dalam pesona alamm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar